Rabu, 22 September 2010

KEMAJUAN IPTEK UNTUK KEMASLAHATAN UMAT

Oleh: Ambarwati * dan Novilia Susianawati **
* Prodi Kesehatan Lingkungan FIK UMS
** Mahasiswa S2 Biologi Sekolah Pasca Sarjana UGM


ABSTRAK
Sehat merupakan nikmat Allah yang sering dilupakan manusia. Meskipun dalam islam orang yang sakit dan sabar menjalaninya, akan berguguran dosa-dosanya, namun manusia juga wajib berikhtiyar untuk penyembuhan penyakitnya. Manusia merupakan mahkluk yang paling tinggi derajadnya jika dibandingkan mahkluk lain. Hal ini disebabkan manusia memiliki akal. Dengan akalnya manusia mampu mempelajari apa yang ada di alam dan dapat mencari alternatif untuk mengatasi semua masalah yang dihadapinya, termasuk masalah dalam pengobatan penyakit. Kemajuan teknologi dalam pengobatan, termasuk rekayasa genetika dan terapi gen merupakan kemajuan pesat dalam bidang pengobatan yang mampu dicapai manusia dengan akalnya. Diharapkan kemajuan ini dapat berguna untuk kemaslahatan umat manusia.

Kata kunci : pengobatan penyakit, rekayasa genetika, terapi gen


A. PENDAHULUAN
Sehat merupakan nikmat yang sangat berharga, namun baru kita rasakan ketika kita sakit sehingga nikmat ini sering kita lupakan. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan kita dalam hadist riwayat Al-Hakim yang berbunyi : “Jagalah 5 perkara sebelum datang 5 perkara, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit dan hidup sebelum mati.” Hadist ini mengisyaratkan pada kita agar kita memanfaatkan sebaik-baiknya nikmat sehat, muda, kaya, lapang dan hidup. Meskipun dalam islam orang yang sakit akan berguguran dosa-dosanya, namun manusia juga wajib berdoa dan berikhtiyar dengan berobat untuk mencari kesembuhan. Bukankah Allah telah berfirman dalam Al Quran surat Asy Syuara ayat 80 yang artinya "Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku".
Manusia sebagai mahkluk yang paling tinggi derajadnya dibandingkan mahkluk lain karena nikmat akalnya, diharapkan mampu menggunakan akalnya untuk kemaslahatan umat termasuk dalam bidang pengobatan untuk menemukan alternatif penyembuhan penyakit. Hal ini berkaitan dengan tugas manusia sebagai kholifah di muka bumi sebagaimana di dalam QS. Al-Baqarah ayat 30).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk dalam bidang pengobatan merupakan hasil karsa dan karya manusia yang dihasilkan dengan akalnya. Kemajuan pesat dalam bidang molekuler telah melahirkan beberapa alternatife baru dalam usaha pengobatan dan memberikan harapan baru bagi para penderita, bahkan untuk beberapa penyakit yang di masa lampau mustahil untuk diobati, misalnya penyakit keturunan. Rekayasa genetika dan terapi gen merupakan kemajuan teknologi yang cukup dapat memberikan harapan di bidang pengobatan.

B. REKAYASA GENETIKA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) rekayasa genetika dapat diartikan sebagai ilmu dari cabang biologi yang berhubungan dengan prinsip keturunan dan variasi pada binatang dan tumbuhan jenis yang sama. Namun demikian dewasa ini rekayasa genetika tidak hanya berlaku pada hewan dan tumbuhan yang sejenis tetapi telah berkembang pada manusia dan lintas jenis. Dalam rekayasa genetika dapat diperoleh suatu sifat yang menguntungkan dari sutu organisme yang dapat diatransfer pada organisme lain. Sebagaimana telah diketahui bahwa gen merupakan pembawa sifat pada organisme, maka pemindahan suatu sifat dapat dilakukan dengan merekayasa gen-gen tertentu pada mahkluk hidup tertentu. Tehnik ini telah banyak dilakukan dan berhasil terutama di bidang pertanian. Contohnya diperolehnya kapas transgenik yang tahan hama, diperolehnya padi dengan kualitas unggul dan sebagainya.
Penemuan baru di bidang rekayasa genetika dan sangat berguna di bidang kesehatan adalah, keberhasilan produksi insulin manusia dengan tehnik rekayasa genetika pada bakteri E. coli. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah penderita Diabetes Melitus (DM) semakin hari semakin bertambah. Indonesia menempati urutan keenam di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita DM terbanyak setelah India, China, Uni Sovyet, Jepang, dan Brazil. Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita DM di Indonesia mencapai 5 juta dengan peningkatan sebanyak 230.000 pasien DM per tahunnya, sehingga pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 12 juta penderita (Octa, 2006).
Diabetes Melitus merupakan penyakit dimana tubuh penderita tidak bisa secara otomatis mengendalikan tingkat gula (glukosa) dalam darahnya. Penderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup, sehingga terjadi kelebihan gula di dalam tubuh. Kelebihan gula yang kronis di dalam darah (hiperglikemia) ini menjadi racun bagi tubuh (Octa, 2006).
Diabetes Melitus dapat dibedakan dalam dua tipe yaitu :
1. Diabetes Tipe I (IDDM/ Insulin Dependent Diabetes Mellitus /tergantung insulin)
Yaitu kondisi defisiensi produksi insulin oleh pankreas. Hal ini disebabkan karena sel-sel beta dari pulau-pulau langerhans telah mengalami kerusakan, sehingga pankreas berhenti memproduksi insulin. Kerusakan sel beta tersebut dapat terjadi sejak kecil ataupun setelah dewasa. Kondisi ini hanya bisa diobati dengan pemberian insulin, sehingga tubuh perlu pasokan insulin dari luar.
2. Diabetes Tipe II (NIDDM/ Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus/ tidak tergantung insulin)
Diabetes melitus ini terjadi akibat ketidakmampuan tubuh untuk berespons dengan wajar terhadap aktivitas insulin yang dihasilkan pankreas (resistensi insulin), sehingga tidak tercapai kadar glukosa yang normal dalam darah. Biasanya orang yang terkena penyakit diabetes tipe ini adalah orang dewasa
Secara normal insulin dihasilkan oleh pankreas. Dalam keadaan sehat pankreas secara spontan akan memproduksi insulin saat gula darah tinggi. Prosesnya sebagai berikut : jika gula darah rendah glukagon akan dibebaskan oleh sel alfa pankreas, kemudian hati akan melepaskan gula ke darah yang mengakibatkan kadar gula darah normal. Sebaliknya jika gula dalam darah tinggi, insulin akan dibebaskan oleh sel beta pankreas, kemudian sel-sel lemak akan mengikat gula darah, yang mengakibatkan kadar gula darah normal. Menurut Witarto, (2005) Insulin adalah hormon dari jenis protein yang tersusun dari 51 asam amino. Struktur insulin manusia terdiri dari dua rantai polipeptida yang dihubungkan oleh ikatan disulfida, yaitu polipeptida alfa dan beta. Polipeptida alfa mengandung 21 asam amino sedang polipeptida beta mengandung 30 asam amino. Apabila urutan asam amino suatu polipeptida diketahui maka dengan menggunakan kode geneti¬ka dapat pula diketahui urutan nukleotida gena(DNA) yang mengkodenya. Mengingat bahwa protein insulin cukup pendek maka gen yang mengkode insulin dapat disintesis secara kimiawi. Insulin berfungsi untuk mengontrol kadar gula dalam darah. Bila kadar gula dalam darah tinggi maka insulin akan membantu mengubah gula darah menjadi glikogen yang biasanya akan disimpan di otot sehingga kadar gula dalam darah normal.
Sebelum era rekayasa genetika, insulin yang diperlukan untuk mengobati penderita DM diperoleh dari hewan. Insulin yang dihasilkan oleh pankreas sapi atau babi digunakan untuk pengobatan DM pada manusia. Namun cara ini mempunyai kelemahan, yaitu terbatasnya insulin yang dapat diproduksi oleh pankreas, yang tidak sebanding dengan jumlah penderita DM yang membutuhkan insulin. Selain itu memungkinkan adanya efek samping karena insulin yang dihasilkan tidak sama persis dengan insulin manusia. Meskipun diketahui insulin yang dihasilkan oleh babi paling mirip dengan insulin manusia, namun perlu diingat bahwa dalam islam babi merupakan binatang yang haram sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Al An'am ayat 145 yang artinya : "Katakanlah : Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi …". Penemuan teknik rekayasa genetika pada E. coli untuk menghasilkan insulin, jauh lebih menguntungkan karena yang dihasilkan adalah insulin manusia sehingga tidak memberikan efek sampingan seperti halnya insulin hewan serta dapat dihasilkan banyak insulin dalam waktu yang relatif pendek. Hal ini dikarenakan waktu generasi E. coli yang cukup pendek, yaitu hanya 20 menit, sehingga setiap 20 menit, satu sel E. coli membelah menjadi 2 sel.
E. coli merupakan anggota bakteri. Selama ini bila kita mendengar kata bakteri, maka yang terbayang di benak kita adalah sesuatu yang merugikan saja, misalnya penyebab suatu penyakit. Padahal sebenarnya E. coli tidaklah demikian, bakteri ini dikenal sebagai mikrobia normal tubuh manusia. E. coli tidak bersifat pathogen selama berada dalam usus dan bahkan menurut Sujono (1998) bakteri ini bersimbiosis mutualisme dengan manusia. E. coli membantu membentuk vitamin-vitamin (terutama vitamin K) dan dapat menghambat terbentuknya gas H2S, sedangkan E. coli juga mendapatkan makanan dari sisa-sisa metabolisme manusia. Fenomena ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 191 yang artinya "tidaklah Aku cipakan sesuatu dengan sia-sia".
Menurut Sebiring L, dkk (1999) langkah-langkah dalam rekayasa genetika untuk memproduksi insulin adalah sebagai berikut :
1. Masing-masing gen polipeptida alfa dan beta disintesis secara kimiawi.
2. Gen tersebut disisipkan pada plasmid E. coli yang direkayasa supaya memiliki operon laktosa, yaitu promoter, operator, dan gen struktural 2 yang mengkode ß-galaktosidase. Di samping itu, plasmid ini juga mengandung gen yang mengkode resistensi terhadap amfisilin yang berguna sebagai marker untuk menyeleksi sel yang mengandung plasmid.
3. Masing-masing gena alfa dan beta disisipkan ke dalam plasmid yang terpisah, yaitu pada bagian kanan gen z.
4. Plasmid tersebut lalu dimasukkan ke dalam sel E. coli untuk diekspresikan.
5. Ekspresi operon laktosa akan menyebabkan terbentuknya protein galaktosidase dan protein insulin yang saling berikatan hingga membentuk protein gabungan.
6.. Selanjutnya protein gabungan ini dimurnikan lalu dipotong sehingga protein insulin terpisah dengan protein ß-galaktosidase.
7. Dengan cara ini akan diperoleh polipeptida alfa maupun polipeptida beta insulin.
8. Akhirnya polipeptida alfa diikatkan dengan polipeptida beta secara oksidasi. sehingga diperoleh insulin yang utuh dan siap untuk digunakan.

C.TERAPI GEN
Jika rekayasa genetika sudah banyak diterapkan dan berhasil, maka terapi gen baru boleh dilakukan dalam skala penelitian dan para pakar memperkirakan masih sekitar tujuh sampai lima belas tahun lagi terapi gen baru dapat terealisasi (Pray, 2004:Wang, et al., 2004). Namun demikian terapi gen cukup menjanjikan harapan bagi para penderita penyakit, terutama penyakit keturunan.
Terapi gen adalah teknik memperbaiki gen yang rusak atau cacat yang bertanggungjawab atas timbulnya penyakit tertentu (Moelyoprawiro, 2005). Edrus (2005) menyatakan bahwa terapi gen merupakan teknologi masa kini yang membolehkan gen-gen yang rusak diganti dengan gen-gen normal dimana kita menggunakan vektor untuk menyisipkan DNA yang diingini ke dalam sel dan disuntikkan ke dalam tubuh. Terapi gen dapat dilakukan secar ex vivo dan in vivo. Terapi ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990 (Roberts, 2004). Selama ini pendekatan terapi gen yang berkembang adalah menambahkan gen-gen normal ke dalam sel yang mengalami ketidaknormalan. Pendekatan lain adalah melenyapkan gen abnormal dengan melakukan rekombinasi homolog. Pendekatan ketiga adalah mereparasi gen abnormal dengan cara mutasi balik selektif, sedemikian rupa sehingga akan mengembalikan fungsi gen tersebut. Selain pendekatan-pendekatan tersebut, ada pendekatan lain untuk terapi gen yaitu mengendalikan regulasi ekspresi gen abnormal tersebut (Holmes, 2003). Perkembangan terapi gen yang terkini untuk pengobatan penyakit lebih diarahkan pada gagasan mencegah diekspresikannya gen-gen yang jeiek atau abnormal (gene silencing). Untuk tujuan gene silencing atau membungkam ekspresi gen tersebut, maka penggunaan RNA (RNA therapeutic) lebih dimungkinkan dari pada penggunaan DNA (Adams, 2005). Telah dilaporkan dalam majalah Nature bulan Mei 2001 bahwa RNA dapat membungkam ekspresi gen dengan efektif (Elbashir, et al., 2001). Gagasan terapi gen dengan mereparasi mRNA, berarti menggunakan mekanisme regulasi sel itu sendiri, sehingga efek samping yang merugikan lebih dapat ditekan (Penman, 2002). Cara ini lebih baik dilakukan dari pada mengganti gen yang cacat.
Sampai saat ini vektor yang paling umum dipakai adalah virus. Pada keadaan pathogen, yang terjadi adalah virus mampu menyisipkan gennya ke dalam sel manusia (Moelyoprawiro, 2005). Oleh para pakar kemampuan ini digunakan untuk penyembuhan dengan jalan memanipulasi genom virus, yaitu menghilangkan gen virus penyebab penyakit dan menyisipkan gen penyembuh yang diinginkan ke dalam genom virus tersebut. Vektor yang telah berisi gen penyembuh virus tadi diinjeksikan ke dalam sel target pasien (misalnya sel liver atau sel paru-paru). Kemudian virus akan memindahkan materi genetik yang berisi gen penyembuh ke dalam sel target. Dengan demikian, protein hasil produksi gen penyembuh tadi akan berfungsi normal dan mengembalikan sel target dalam keadaan normal. Beberapa contoh terapi gen untuk mengobati penyakit adalah sebagai berikut :
1. Penghasilan Enzim ADA
Contoh terbaik adalah penghasilan enzim Adenosina Deaminase (ADA) pada bayi. Ashanthi De Silva ialah kanak-kanak pertama yang dirawat dengan terapi gen. Dia mengidap penyakit kedefisienan Adenosina Deaminase (ADA) yang disebabkan mutasi tubuhnya tidak mampu membina enzim ADA, enzim ini diperlukan untuk perkembangan sel T (mempertahankan sistem keimumnan), gen ADA terletak pada kromosom X. biasanya pengidap penyakit ini diberi suntikan enzim ADA atau pemindahan sumsum tulang, namun sistem ini memiliki kelemahan, yaitu suntikan enzim ADA tidak dapat memulihkan sistem keimunan penderita sedang pemindahan sumsum tulang perlu pendonor yang cocok. Teknologi DNA rekombinan memberi nafas baru untuk mengobati penyakit ini.
Ashanti yang berumur 4 tahun pada tahun 1990 menerima terapi gen. Salinan-salinan gen terklon untuk enzim ADA disisipkan ke dalam retro virus lemah (sebagai vektor). Retro virus ini dicampurkan dengan sel T Ashanthi, retrovirus kemudian menjangkiti sel T dan menyisipkan gen ADA ke dalam DNA sel T. setelah dilakukan penyaringan, sel T rekombinan tersebut diklonkan, sebagian sel T rekombinan tersebut disuntikkan ke Ashanti dan sebagian lagi disimpan dalam penyimpan gen (sebagai simpanan). Ashanti disuntik berulangkali, dan ternyata setelah 5 tahun didapati sel T Ashanthi menunjukkan kehadiran gen ADA, diprediksikan satu milyar sel telah diberikan pada Ashanthi.
2. Pengobatan Hemofili
Penderita hemofilia adalah manusia yang factor VIII dalam darahnya jumlahnya sedikit. Jika orang normal memiliki jumlah factor VIII dalam darahnya sebanyak 100 unit, maka penderita hemofili ringan hanya memiliki sekitar 30 unit saja (6-30 persen), sedangkan penderita hemofili berat hanya memiliki factor VIII dalam darahnya kurang dari 5 unit atau 1 persen saja. Akibatnya penderita tidak memiliki kemampuan dalam pemkuan darah. Terapi gen merupakan salah satu cara penyembuhan penyakit hemofili dengan memperbaiki kerusakan genetis, yaitu melalui penggantian gen yang tidak rusak dan berfungsi normal. Penyembuhan melalui terapi gen ini tidak dapat secara permanen dan masih harus dilakukan secara berkala.
Menurut Moeslichan (2005), hingga saat ini terapi gen belum diterapkan pada penderita hemofili Indonesia. Ditambahkannya bahwa di luar negeri studi terapi gen terus dikembangkan. Bahkan percobaan kepada binatangpun telah dilakukan. Sebuah kasus terapi gen yang dilakukan pada seekor anjing yang mengidap hemofilia dapat sembuh dalam waktu 30 hari. Namun, serangan hemofilia kembali terjadi setelah itu. Pada manusia penderita hemofili, masa penyembuhan setelah terapi gen, memakan waktu dari satu hingga dua tahun.
Prinsip-prinsip terapi gen adalah gen yang akan dipindahkan itu harus diletakkan ke dalam sel yang akan berfungsi normal dan efektif. Untuk hemofilia gen harus diletakkan ke dalam sel yang akan menghantarkan protein faktor VIII atau faktor IX ke dalam peredaran darah. Saat ditransfer, gen tersebut harus berfungsi dalam sel dalam jangka waktu yang lama, demikian pula sel baru yang disebut transduced cell, harus pula bertahan lama. Program terapi gen terbagi dalam dua jenis. Pertama, pemindahan gen dilakukan di dalam tubuh pasien (in vivo transfer). Kedua, pemindahan gen dilakukan di luar tubuh pasien (ex vivo transfer). Terapi gen in vivo transfer bersandarkan pada kemampuan sel-sel untuk menyerap DNA. Peneliti berharap dapat memetakan gen yang berfungsi normal sehingga memungkinkan sel-sel menerimanya sesegera mungkin, misalnya melalui penyuntikan. Sedangkan ex vivo transfer, gen yang berfungsi normal disisipkan ke dalam sel di dalam laboratorium. Kemudian sel yang telah ditransferkan ke gen baru tadi di letakkan ke dalam tubuh pasien. Sel penderita dapat digunakan untuk pemindahan gen ini. Tentu kedua cara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan in vivo transfer adalah sangat sedikit membutuhkan manipulasi laboratorium dan dapat digunakan dalam skala besar. Sedangkan ex vivo lebih sarat dengan operasi pembedahan, seperti bagaimana mengangkat dan meletakkan kembali sel, karena meletakkan gen baru ke tubuh pasien tidaklah segampang menelan pil atau semudah menyuntikkannya ke dalam darah.
Risiko terapi gen adalah kemungkinan terjadinya viral vector yang akan beraksi layaknya virus dan akan menyebabkan infeksi. Namun demikian sejauh ini viral vector yang telah dilakukan investigasi tidak menyebabkan penyakit pada manusia. Penyembuhan penyakit hemofilia melalui terapi gen saat ini masih terus dilakukan. Percobaan terhadap anjing telah berhasil, demikian juga dengan manusia, percobaan terhadap dua penderita hemofilia pun telah dilakukan.
3. Pengobatan Thallasemia
Thallasemia merupakan suatu penyakit darah bawaan yang menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), sel darah merah penderita mengandung sedikit hemoglobin dan sel darah putihnya meningkat jumlahnya (Supriyadi, dkk, 1992). Thallasemia merupakan penyakit keturunan yang paling banyak dijumpai di Indonesia dan Italia. 6 sampai 10% dari 100 orang Indonesia membawa gen penyakit ini. Jika dua orang yang sama-sama membawa gen ini menikah maka satu dari empat anak mereka akan menderita thallasemia berat.
Kelainan gen ini akan mengakibatkan kekurangan salah satu unsur pembentuk hemoglobin (Hb), sehingga produksi Hb berkurang. Terdapat tiga jenis thallasemia yaitu : mayor, intermediate dan karier. Pada thallasemia mayor, Hb sama sekali tidak diproduksi. Akibatnya penderita akan mengalami anemia berat. Dalam hal ini jika penderita tidak diobati, maka bentuk tulang wajahnya akan berubah dan wama kulitnya menjadi hitam. Selama hidupnya penderta akan tergantung pada transfusi darah. Hal ini dapat berakibat fatal, karena efek samping dari transfuse darah yang terus menerus akan mengakibatkan kelebihan zat besi.
Terapi gen merupakan harapan baru bagi penderita thallasemia di masa mendatang. Terapi dilakukan dengan menggantikan sel tunas yang rusak pada sumsum tulang penderita dengan sel tunas dari donor yang sehat. Hal ini sudah diujicobakan pada mencit.

D. KESIMPULAN
1. Rekayasa genetika dan terapi gen merupakan hasil kemajuan iptek yang dapat memberikan harapan baru bagi para penderita penyakit yang di masa lampau mustahil untuk disembuhkan, misalnya penyakit keturunan.
2. Rekayasa genetika telah banyak dilakukan dan berhasil terutama di bidang pertanian, sedangkan di bidang kesehatan telah berhasil diproduksi insulin dengan rekayasa genetika pada E. coli.
3. Meskipun terapi gen belum diijinkan diterapkan pada manusia dan masih dalam skala penelitian, namun di masa mendatang terapi gen merupakan harapan besar dalam dunia pengobatan.

E. DAFTAR PUSTAKA
Adams, A. 2005. RNA theurapeutic Center Clinical Trials. The Scientist, January 17 Molecular Biology Reviews 67 (4): 657-685.

Departemen Agama RI, 1971. Al Quran dan Terjemahnya. Jakarta, Departemen Agama.

Edrus, N., 2005. Pengenalan Teknologi Rekombinan. Diakses :18 Mei 2006. http://www. edutraining. cc/pendidikan/semester 2/Teknologi.htm.

Elbashir, S.M., et al. 2001. Duplexes of 21-nucleotide RNAsmediate RNA interference in cultured mammalian cells. Nature 411: 494-498.

Holmes, B. 2003. Gene therapy may switch off' Huntington's. NewScientist.com 10.35 13 March 2003.

Moelyoprawiro, S, 2005. Peran Biologi dalam Kesehatan. Disampaikan dalam Seminar Nasional dan Konggres Biologi XIII. Yogyakarta, UGM.

Moeslichan, 2005. Terapi Gen Bagi Penderita Hemofili. Diakses : 27 November 2005. http://www. tempo, co. id/kliniknet/artikel/18042001.
Octa, 2006. Diabetes Melitus. Pusat Promosi Kesehatan Dep. Kes. RI. Diakses : 17 Mei 2006. http ://www.promosikesehatan.com/artikel.php?nid= 136

Penman, D., 2002. Subtle Gene Therapy Tackles Blood Disorder. New Scientist.com 16:26 11 October 2002.

Pray, L.A., 2004. Viroid, Viruses, and RNA silencing. The scientist 18 (16):23.

Roberts, J.P., 2004. Gene therapy's Fall and Rise (Again). The Scientist 18 (18): 22-24.

Sembiring, L., Nastiti, S. J,. dan Suharni, T. T., 1999. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta, UGM.

Sujono, R. B., 1998. Enterobacteriaceae. Surakarta, FK UNS

Supriyadi, Bambang, Drajad, A. R., Sumariito, Nurantini, Y., dan Probosunu, N., 1992. Modul Biologi. Yogyakarta, Primagama.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua. Jakarta, Balai Pustaka.

Wang, M.B. et al., 2004. On the Role of RNA Silencing in the Pathogenicity and Evolution of Viroids and Viral Satelite. Proc Nati Acad Sci 101: 3275-3280.

Witarto, A.B., 2005. Diabetes, Inspirator Kemajuan Iptek. Pusat Penelitian Bioteknologi - LIPI. Diakses 17 Mei 2006. http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2005-01-20-Diabetes, Inspirator
-Kemajuan-Iptek.shtml








SISTEM INFORMASI MANAJEMEN KEPERAWATAN DI INDONESIA
OLEH : ULY AGUSTINE
Pendahuluan
Di Indonesia pada era keterbukaan ini, masyarakat mempunyai kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya, sehingga apabila masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang tidak bermutu maka masyarakat berhak menuntut pada pemberi pelayanan kesehatan. Namun kondisi keterbukaan pada masyarakat saat ini sepertinya belum didukung dengan kesiapan pelayanan kesehatan, salah satunya dalam memenuhi ketersediaan dokumentasi yang lengkap di pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini di Indonesia belum secara luas dimanfaatkan dengan baik khususnya di pelayanan rumah sakit, terutama pelayanan keperawatan.

Tenaga perawat sebagai salah satu tenaga yang mempunyai kontribusi besar bagi pelayanan kesehatan, mempunyai peranan penting untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, seorang perawat harus mampu melaksanakan asuhan keperawatan sesuai standar, yaitu dari mulai pengkajian sampai dengan evaluasi dan yang sangat penting adalah disertai dengan sistem pendokumentasian yang baik. Namun pada realitanya di lapangan, asuhan keperawatan yang dilakukan belum disertai dengan sistem pendokumentasian yang baik, sehingga perawat mempunyai potensi yang besar terhadap proses terjadinya kelalaian dalam praktek. Dengan adanya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, maka sangat dimungkinkan bagi perawat untuk memiliki sistem pendokumentasian asuhan keperawatan yang lebih baik dengan menggunakan Sistem Informasi Manajemen.
Isu yang berkembang di Indonesia saat ini, terutama di area pelayanan kesehatan rumah sakit adalah apabila Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit sudah dipergunakan apakah akan menyebabkan biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar atau berkurang, apakah sistem ini membantu mencapai tujuan yang diharapkan, apakah jumlah SDM keperawatan dapat dikurangi serta apakah sistem ini akan berkesinambungan dan secara terus-menerus akan dipergunakan, bagaimana kalau terjadi kerusakan sistem yang fatal. Isu ini sepertinya sangat mempengaruhi pihak manajemen rumah sakit dalam memutuskan dilaksanakannya pemanfaatan dan pengembangan sistem tersebut. Sebagai gambaran ada beberapa rumah sakit yang bidang perawatannya sudah mempersiapkan Sistem Informasi Manajemen keperawatan, namun belum bisa dilaksanakan, salah satu penyebabnya karena pihak manajemen rumah sakit merasa belum siap dalam menyediakan dana untuk pengembangan program ini, dan mungkin ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.
Kecenderungan dan Isu dalam Bidang Sistem Informasi Manajemen Keperawatan di Indonesia

Sistem informasi manajemen (SIM) adalah rangkaian kegiatan atau komponen pengumpulan data yang satu sama lain berkaitan dalam mengolah data kemudian diproses menjadi informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan yang akurat, cepat dan bermutu (Hafizurachman, 2000). Sistem informasi merupakan suatu kumpulan dari komponen-komponen dalam organisasi yang berhubungan dengan proses penciptaan dan pengaliran informasi. Sistem informasi mempunyai komponen-komponen yaitu proses, prosedur, struktur organisasi, sumber daya manusia, produk, pelanggan, supplier dan rekanan (Eko, 2001). Kelompok ad hoc the Nursing Information systems National Study Group (1982) di USA menghasilkan konsep Sistem Informasi Keperawatan : “ Suatu sistem komputer yang digunakan untuk membantu dalam administrasi pelayanan keperawatan, pemindahan pasien dan mendukung pendidikan dan penelitian keperawatan”. Sistem Informasi Keperawatan merupakan sistem yang menggunakan komputer untuk memproses data keperawatan menjadi satu bentuk informasi yang mampu menunjang aktivitas/fungsi perawat.

Sistem informasi manajemen asuhan keperawatan mempunyai banyak keuntungan jika dilihat dari segi efisien dan produktivitas. Beberapa keuntungan menggunakan sistem informasi manajemen keperawatan adalah meningkatkan kualitas dokumentasi, meningkatkan kualitas asuhan, meningkatkan produktifitas kerja, memudahkan komunikasi antara tim kesehatan, memudahkan dalam mengakses informasi, meningkatkan kepuasan kerja perawat, perawat memiliki waktu lebih banyak untuk melayani pasien, menurunkan Hospital Cost, menurunkan Lost of data and information, mencegah Redundancy (Kerangkapan Informasi).

Sistem informasi manajemen berbasis komputer dapat menjadi pendukung pedoman bagi pengambil kebijakan/keputusan di keperawatan /Decision support system dan Executive information system (Eko, 2001). Informasi asuhan keperawatan dalam sistem informasi manajemen yang berbasis komputer dapat digunakan dalam menghitung pemakaian tempat tidur, BOR pasien, angka nosokomial, penghitungan budget keperawatan . Data yang akurat pada keperawatan dapat digunakan untuk informasi bagi tim kesehatan yang lain. Sistem informasi asuhan keperawatan juga dapat menjadi sumber dalam pelaksanaan riset keperawatan secara khusus dan riset kesehatan pada umumnya.
Sistem informasi manajemen asuhan keperawatan sudah berkembang di luar negeri sekitar tahun 1992. Pada bulan September, sistem informasi diterapkan pada sistem pelayanan kesehatan Australia khususnya pada pencatatan pasien (Liaw, 1993).

Trend/Kecenderungan yang sedang berkembang tentang SIM keperawatan di Indonesia adalah :
1. Semakin tingginya beban kerja perawat di rumah sakit menuntut adanya suatu sistem teknologi informasi yang mampu mengatasinya. Tuntutan adanya dokumentasi keperawatan yang lengkap dengan hanya menggunakan cara manual tulisan tangan selama ini hanya menambah beban kerja perawat dan semakin mengurangi jumlah waktu perawat bersama pasien. Sangat tepat apabila SIM keperawatan bisa diaplikaskan.
2. Sistem informasi keperawatan di luar negeri sudah modern dan canggih dengan memanfaatkan sistem teknologi informatika, sehingga perawat di luar negeri mampu bekerja secara efisien dan dan berkualitas tinggi. Kondisi tersebut diharapkan mampu diikuti oleh perawat di Indonesia.
3. Perlunya keperawatan di Indonesia memiliki sistem informasi manajemen keperawatan dalam melakukan pelayanan kepada pasien di rumah sakit, sehingga perawat bisa bekerja lebih efektif dan efisien.
4. Pelaksanaan proses asuhan keperawatan akan lebih cepat, efektif dan efisien dengan menggunakan SIM.
5. Diharapkan hari rawat pasien lebih cepat karena interaksi pasien-perawat lebih banyak sehingga tujuan asuhan keperawatan lebih cepat tercapai
6. Profesionalisme perawat akan semakin meningkat dan pengakuan kesetaraan antara profesi perawat dengan medis akan lebih baik.
7. Citra perawat di masyarakat dan diantara profesi lain akan semakin baik.
8. Penggunaan SIM keperawatan akan meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit
9. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI) mulai tahun 2001 telah mengembangkan suatu sistem asuhan keperawatan yang berbasis dengan komputer. Sampai saat ini sistem ini baru digunakan untuk proses akademik pembelajaran komputer keperawatan. Sistem informasi asuhan keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan masih dalam tahap awal dan masih memerlukan penyempurnaan (Haryati, 2001). Diharapkan sistem informasi asuhan keperawatan FIK-UI di masa datang dapat mempercepat perkembangan sistem informasi yang dapat diaplikasikan di rumah sakit maupun pelayanan keperawatan yang lain.
Sedangkan isu tentang SIM keperawatan di Indonesia sampai saat ini adalah :
1. Perawat di Indonesia memiliki keinginan yang tinggi untuk memiliki program SIM keperawatan
2. Belum dilaksanakannya SIM keperawatan di Indoneisa berdampak terhadap semakin tingginya beban kerja perawat. Sehingga perawat berharap pihak manajemen RS segera mengaplikasikan program SIM keperawatan.
3. Beberapa rumah sakit di Indonesia, sampai saat ini yang berkembang adalah Sistem Informasi Rumah Sakit yang baru berupa billing system.
4. Rumah Sakit di Indonesia 99% masih melaksanakan pendokumentasian keperawatan secara manual .
5. Untuk aplikasi sistem informasi manajemen asuhan keperawatan baru beberapa rumah sakit saja yang sudah menerapkan dan itu pun masih terbatas, seperti Rumah Sakit Fatmawati Jakarta dan rumah sakit Charitas Palembang. Di RS Fatmawati Jakarta, sejak tahun 2002 mulai mengembangkan sistem pendokumentasian keperawatan berupa SIM keperawatan. Sistem pendokumentasian keperawatan yang terkomputerisasi sudah mulai diimplementasikan sejak tahun 2004. Sistem Informasi Manajemen keperawatan ini baru sebatas menentukan rencana keperawatan. Di RS Charitas Palembang, sistem dokumentasi keperawatan terkomputerisasi mulai dikembangkan sejak tahun 2002. Di RSUD Banyumas sistem pendokumentasian ini baru menerapkan dengan sistem NIC-NOC. Di RSUD Cengkareng Jakarta baru sebatas pelaksanaan Clinical pathway.
6. Pihak manajemen rumah sakit masih memandang SIM keperawatan belum menjadi suatu prioritas utama untuk diaplikasikan karena salah satu penyebabnya adalah membutuhkan biaya yang cukup besar, masih belum memilki pemahaman yang baik tentang dampak apabila program ini diberlakukan terhadap kualitas pelayanan keperawatan dan rumah sakit secara umum, adanya pemikiran bahwa pekerjaan perawat tidak memerlukan bantuan teknologi/alat yang canggih. Pihak manajemen juga masih khawatir tentang kemampuan SDM keperawatan dalam pemanfaatan tekonolgi ini.
7. Masih banyak perawat yang tidak mengenal apa sistem informasi manajemen keperawatan yang berbasis komputer tersebut. Kondisi ini karena sangat bervariasinya tingkat pendidikan keperawatan.
8. Belum adanya aspek legal/UU tentang praktek keperawatan.


Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pelaksanaan SIM Keperawatan di Indonesia

Sistem informasi manajemen (SIM) berbasis komputer banyak kegunaannya, namun pelaksanan SIM di Indonesia masih banyak mengalami kendala. Ada beberapa faktor pendukung dalam pelaksanaan SIM keperawatan di Indonesia yaitu saat ini sudah mulai ada perusahaan (yang dikelola oleh profesi keperawatan) yang menawarkan produk SIM keperawatan yang siap pakai untuk diterapkan di rumah sakit. Sekalipun memiliki harga yang cukup tinggi tetapi keberadaan perusahaan ini dapat mendukung pelaksanaan SIM keperawatan di beberapa rumah sakit yang memiliki dana cukup untuk membeli produk tersebut. Semakin mudahnya akses informasi tentang pelaksanaan SIM keperawatan juga memudahkan rumah sakit dalam memilih SIM yang tepat. Selain itu faktor pendukung yang lain adalah adanya UU No 8 tahun 1997 yang mengatur tentang keamanan terhadap dokumentasi yang berupa lembaran kertas. Undang-undang ini merupakan bentuk perlindungan hukum atas dokumen yang dimiliki pusat pelayanan kesehatan, perusahaan atau organisasi. Aspek etik juga dapat menjadi salah satu faktor pendukung karena sistem ini semaksimal mungkin dirancang untuk menjaga kerahasiaan data pasien. Hanya orang-orang tertentu saja yang boleh mengakses data melalui SIM ini, misalnya dokter, perawat, pasien sendiri.

Terdapat beberapa aspek yang menjadi kendala dalam penerapan SIM di Indonesia. Memutuskan untuk menerapkan sistem informasi manajemen berbasis komputer ke dalam sistem praktek keperawatan di Indonesia tidak terlalu mudah. Hal ini karena pihak manajemen harus memperhatikan beberapa aspek yaitu struktur organisasi keperawatan di Indonesia, sebagai contoh pengambil keputusan/kebijakan bukan dari profesi perawat, sehingga seringkali keputusan tentang pelaksanaan SIM yang sudah disepakati oleh tim keperawatan dimentahkan lagi karena tidak sesuai dengan keinginan pengambil kebijakan. Pihak manajemen rumah sakit masih banyak yang mempertanyakan apakah SIM keperawatan ini akan berdampak langsung terhadap kualitas pelayanan keperawatan dan kualitas pelayanan rumah sakit secara keseluruhan. Aspek kedua adalah kemampuan sumber daya keperawatan. Ada banyak sumber daya manusia di institusi pelayanan kesehatan yang belum siap menghadapi sistem komputerisasi, hal ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan mereka terhadap sistem informasi teknologi yang sedang berkembang. Pemahaman yang kurang tentang manfaat SIM menjadi salah satu faktor penyebab ketidaksiapan SDM keperawatan. Aspek ketiga yang menjadi faktor penghambat atau kendala dalam pelaksanaan SIM adalah faktor sumber dana. Sebagaimana kita tahu bahwa untuk mendapatkan sistem informasi manajemen keperawatan yang sudah siap diterapkan di rumah sakit, membutuhkan biaya yang cukup besar . Masalahnya sekarang, tidak setiap rumah sakit memiliki dana operasional yang cukup besar, sehingga seringkali SIM keperawatan gagal diterapkan karena tidak ada sumber dana yang cukup. Aspek keempat adalah kurangnya fasilitas Information technology yang mendukung. Pelaksanaan SIM keperawatan tentunya membutuhkan banyak perangkat keras atau unit komputer untuk mengimplementasikan program tersebut.


Alternatif Pemecahan Masalah dalam Penerapan SIM Keperawatan di Indonesia

Ada beberapa alternatif pemecahan masalah dalam penerapan SIM keperawatan di Indonesia diantaranya;
1. Perlu adanya pemahaman yang sama diantara pihak manajemen rumah sakit dengan tim keperawatan tentang pentingnya pelaksanaan SIM keperawatan di rumah sakit yang diwujudkan dalam bentuk pengalokasian dana yang memadai untuk implementasi SIM keperawatan, pemberian pelatihan bagi perawat tentang pelaksanaan SIM keperawatan, pengadaan fasilitas informasi teknologi yang memadai.
2. Perlu adanya integrasi program SIM dalam kurikulum pendidikan keperawatan.
3. Peningkatan standarisasi tingkat pendidikan perawat agar memiliki pemahaman yang tepat tentang teknologi informasi dalam keperawatan.
4. Adanya aspek legal berupa Undang-undang praktek keperawatan
5. Perlu adanya penelitian yang lebih jauh terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan aplikasi SIM di Indonesia.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa terhadap perkembangan Sistem Informasi Manajemen keperawatan di Indonesia, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu:
1. Perkembangan SIM keperawatan di Indonesia masih sangat minim dan tampaknya belum menjadi suatu kebutuhan dan prioritas utama bagi pihak manajemen rumah sakit.
2. Beberapa faktor penghambat dalam pelaksanaan SIM keperawatan di Indonesia adalah pengambil kebijakan bukan dari profesi keperawatan, SDM keperawatan yang belum siap dengan sistem komputerisasi, Sedangkan faktor pendukungnya adalah adanya kemudahan dalam mengakses informasi tentang SIM keperawatan.
3. Beberapa alternatif yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan SIM keperawatan di Indonesia diantaranya adalah; peningkatan alokasi dana, peningkatan kualitas SDM keperawatan, pengadaan fasilitas teknologi informasi yang lebih memadai dan terintegrasinya program SIM keperawatan dalam kurikulum pendidikan keperawatan.

Kategori Pengobatan Penyakit
Malpraktek Menurut Syariat Islam
Minggu, 19 September 2010 15:17:37 WIB

MALPRAKTEK MENURUT SYARIAT ISLAM

Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin, MA


MUQADDIMAH
Berobat merupakan salah satu kebutuhan vital umat manusia. Banyak orang rela mengorbankan apa saja untuk mempertahankan kesehatannya atau untuk mendapatkan kesembuhan. Di sisi lain, para dokter adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari kesalahan. Demikian juga paramedis yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan. Kemajuan teknologi tidak serta merta menjamin menutup pintu kesalahan. Meski pada dasarnya memberikan pelayanann sebagai pengabdian, mereka juga bisa jadi tergoda oleh keuntungan duniawi, sehingga mengabaikan kemaslahatan pasien.

Karenanya, diperlukan aturan yang adil yang menjamin ketenangan bagi pasien dan pada saat yang sama memberikan kenyamanan bagi para profesional bidang kesehatan dalam bekerja. Tentu Islam sebagai syariat akhir zaman yang sempurna ini telah mengatur semuanya. Tulisan sederhana ini mencoba menggali khazanah literatur para ulama Islam dalam hal persoalan yang akhir-akhir ini mencuat kembali, yakni malpraktek.

PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek berasal dari kata 'malpractice' dalam bahasa Inggris . Secara harfiah, 'mal' berarti 'salah', dan 'practice' berarti 'pelaksanaan' atau 'tindakan', sehingga malpraktek berarti 'pelaksanaan atau tindakan yang salah' [1]. Jadi, malpraktek adalah tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai dalam berbagai bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan kesehatan. Artikel ini juga hanya akan menyoroti malpraktek di seputar dunia kedokteran saja.

Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter –atau profesional lain di dunia kedokteran dan kesehatan- kadang berhubungan dengan etika/akhlak. Misalnya, mengatakan bahwa pasien harus dioperasi, padahal tidak demikian. Atau memanipulasi data foto rontgen agar bisa mengambil keuntungan dari operasi yang dilakukan. Jika kesalahan ini terbukti dan membahayakan pasien, dokter harus mempertanggungjawabkannya secara etika. Hukumannya bisa berupa ta'zîr [2], ganti rugi, diyat, hingga qishash [3].

Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu kedokteran. Jenis kesalahan ini yang akan mendapat porsi lebih dalam tulisan ini.

BENTUK-BENTUK MALPRAKTEK
Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi bisa digolongkan sebagai berikut:

1. Tidak Punya Keahlian (Jahil)
Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ، فَهُوَ ضَامِنٌ

"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki keahlian, maka ia bertanggung-jawab" [4]

Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang, sehingga para Ulama sepakat bahwa mutathabbib (pelakunya) harus bertanggung-jawab, jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain.

2. Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhâlafatul Ushûl Al-'Ilmiyyah)
Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran [5].

Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini dan tidak boleh menyalahinya. Imam Syâfi'i rahimahullah –misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi tersebut, maka ia tidak bertanggung-jawab. Sebaliknya, jika ia tahu dan menyalahinya, maka ia bertanggung-jawab."[6] Bahkan hal ini adalah kesepakatan seluruh Ulama, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah [7].

Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk permasalahan yang pelik.

3. Ketidaksengajaan (Khatha')
Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki maksud di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha' (tidak sengaja).

4. Sengaja Menimbulkan Bahaya (I'tidâ')
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun mungkin juga factor kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya.

PEMBUKTIAN MALPRAKTEK
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.

Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:

1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrâr ).
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini menunjukkan kejujuran.

2. Kesaksian (Syahâdah).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zîr, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya) [8].

3. Catatan Medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.

BENTUK TANGGUNG JAWAB MALPRAKTEK
Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk menimbulkan bahaya (i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja. [9]"

2. Dhamân (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.

3. Ta'zîr berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain.
Ta'zîr berlaku untuk dua bentuk malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah [10].

PIHAK YANG BERTANGGUNG-JAWAB
Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung. Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara tidak langsung.

Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggung-jawab. Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggung-jawab bersamanya. Karenanya, rumah sakit atau klinik juga bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor dalam tanggung-jawab yang diemban, sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli.

PENUTUP
Demikianlah penjelasan secara singkat tentang aturan Islam mengenai malpraktek dalam bidang pelayanan kesehatan. Para dokter dan paramedis hendaknya takut kepada Allâh Azza wa Jalla dan menjalankan amanat dengan baik, sehingga terhindar dari berbagai tanggung-jawab yang memberatkan diri di dunia sebelum akhirat. Hendaknya mereka bertawakal kepada Allâh Azza wa Jalla dalam menjalankan tugas, karena hanya Allâh Azza wa Jalla yang bisa menghindarkan mereka dari kesalahan. Semoga Allâh melindungi umat Islam dari marabahaya dan berbagai keburukan.

Tidak ada komentar: